Saturday 24 April 2010

Filsafah Islam dan Tasawwuf

FILSAFAH ISLAM (ASPEK PENGEMBANGAN AKAL)

“Falsafah Islam membehas Dasar dari segala dasar dengan melalui Aqal dan Qalbu”
Filosof-filosof Islam yang diantaranya :
1. Al- Kindi berpendapat bahwa antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Ilmu tauhid atau teologi adalah cabang termulia dari falsafat. Falsafat membahas kebenaran atau hakikat. Kalau ada hakikat-hakikat mesti ada hakikat pertama (Al-Haqq Al-Awwal). Hakikat pertama itu adalah Tuhan. Al-Kindi juga memebicarakan soal jiwa (al-nafs, soul) dak akal. Jiwa manusia mempunyai tiga daya, daya nafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada dan di pikir yang berpusat di kepala. Daya berpikir inilah yang disebut akal. Dalam pemikiran filosofinya Al-Kindi banyak dipengaruhi banyak oleh Aristoteles, Plato dan Neo-Platonisme.

2. Al-Farabi berpendapat bahwa falsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan dan untuk ini ia menulis risalah “Tentang Persamaan antara Plato dan Aristoteles”. Falsafatnya yang terkenal ialah falsafat emanasi. Dalam falsafat emanasi ini ia menerangkan bahwa segala yang ada memancarkan dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh itu. Alam materi dikontrol oleh akal yang sepuluh itu. Ia juga membahas soal jiwa dan akal manusia. Akal menurut pemikirannya mempunyai tiga tingkat, al-hayulani (materi) bi al-fi’I (aktual). Dan al-mustafad (adeptus, aquaired). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan Tuhan melalui akal-akal tersebut. Falsafatnya mengenai politik ia jelaskan dalam bukunya. Negara terbaik ialah Negara yang dipimpin Rasul dan kemudian yang dipimpin filosof. Juga ia memikirkan tentang wujud yang ia bagi ke dalam wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Wujd yang wajib tidak mempunyai sebab bagi wujudnnya.

3. Ibn Sina menjelaskan tentang pembagian roh kedalam beberapa begian dan tentang daya yang ada padanya diberikan oleh Ibn Sina. Ia membagi roh kedalam tiga bagian :
a. Roh tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya :
- Makan
- Tumbuh
- Berkembang

b. Roh Binatang dengan daya-daya :
- Gerak
- Menangkar dengan dua bagian :
• Dari luar dengan pancaindra
• Dari dalam dengan indra-indra dalam :
i. Indra bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh pencaindra.
ii. Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima indra bersama.
iii. Imajinasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing yang melihat serigala.
iv. Rekolasi yang menyimpan hal-hal abstrak yang disusun oleh estimasi.
c. Roh Manusia dengan dua daya :
1. Praktis yang berhubungan adalah dengan badan dan materinya.
2. Teoritis yang berhubungan adalah dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini memepunyai tingkatan-tingkatan :
I. Akal Materil yang baru mempunyai potensialitas untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
II. Intellectus in habitu yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
III. Akal Aktual yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
IV. Acquired intellect yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi pada daya-upaya; akal dalam tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalamnya; akal dalam tingkatan inilah yang dapat menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang berada di luar diri manusia.
Filosof-filosof mempunyai akal dalam tingkat al-mustafad dan dengan demikian dapat berhubungan dengan akal kesepuluh, yeng tersebut dalam falsafah emanasi mereka.

4. Ibnu Maskawaih, Akhlak menurut pendapatnya adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran.
Sikap mental atau jiwa itu dibawa lahir seperti sikap pemurah atau sifat bakhil, dan bisa diperoleh dari kebiasaan, seperti sikap kejujuran dan ketidakjujuran.karena akhlak hubungan dekat dengan jiwa, maka ia juga membahas soal jiwa. Jiwa tidak berbentuk jasmani, dan mempunyai wujud tersendiri, terlepas dari badan. Pembagian jiwa memepunyai tiga daya sama dengan pembagian yang diberikan Al-Kindi.
Kesempurnaan yang dicari jiwa manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan keadaan tidak tunduk pada keinginan hawa nafsu. Di samping kedua kebajikan ini ada lagi dua kebajikan penting lainnya yaitu keberanian dan keadilan.
Kebahagiaan yang sebenarnya ialah kebahagiaan yang timbul dari mnegtahui hikmat-hikmat. Hikmat ada yang bersifat teoretis; dengan hikmat teotetis ini diperolah pengetahuan yang benar. Ada pula hikmah yang bersifat praktis dan dengan ini diperoleh budi pekerti mulia. Kebahagiaan yang diperolah melalui kesenangan jasmani, adalah kebahagiaan palsu yang dicari oleh kaum awam. Dengan shalat dan ibadat pun kebahagiaan palsu inilah yang mereka cari. Usaha yang dijalankan untuk mencari kebahagiaan sempurna ini, menurut Ibn Maskawaih, sia-sia saja. Yang diperolah bukanlah kebahagiaan sebenarnya.

5. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan. Keduanya sama-sama membawa kebenaran. Bagi Ibnu Rusyd tugas falsafat ialah tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Dan Al-Qur’an, sebagaimana dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyuruh manusia berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian Tuhan sebenarnya menuyuruh manusia supaya berfalsafat. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa falsafat wajib atau sekurang-kurangnya sunat. Kalau pendapat akal bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat Ibn Rusyd, teks wahyu harus diberi interpretasi begitu rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Untuk itu dipakai ta’wail atau interpretasi, ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai arti lahir dan batin. Umpamanya Surga, dalm arti lahir ayat, berbentuk jasmani. Dalam arti batun ayat, yang dimaksud dengan surge ialah kesenangan spiritual atau intelektual. Arti lahir adalah untuk keperluan awam dan arti batin untuk keperluan kaum khawas. Arti batin hanya dapat diketahui oleh filosof-filosof dan tak boleh disampaikan kepada orang awam. Oleh karena itu ada ulama-ulama yang tak mau mengeluarkan pendapatnya dan dengan demikian apa yang disebut ijma’ ulama sebenarnya tidak ada.
BAB II
TASAWUF ( ASPEK PENGEMBANGAN QOLBU )

a. Pengertian Tasawwuf.
Berbagai teori dimajukan tentnag asal-usul kata al-tasawwuf dan al-sufi. Teori yang banyak diterima ialah bahwa istilah itu berasal dari kata suf yaitu wol. Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai orang-orang kaya, tetapi wol primitive dan kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang–orang miskin di Timu Tengah. Dizaman itu pakaian kemewahan ialah sutra. Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawi dan kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar.
Ada penuis-penulis yang berpendapat bahwa tasawwuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauh dunia dan kesenangan materi. Ada pula yang mengatakan Tasawwuf rimbul atas pengaruh ajaran Hindu. Disebut juga tasawwuf berasal dari falsafat Pythagoras dengan ajarannya untuk meninggalkan kehidupan materil dan memasuki kehidupan Kontemplasi.
b. Latar belakang.
Sebab: - Kemewahan megakibatkan hilangnya keadilan,
- Lupa akan perintah-perintah Allah SWT.
- Cinta kepada dunia menyebabkan orang menjadi tuli serta buta dan membuat ia menjadi budak.
c. Tujuan.
Berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan, dan menyimpan rasa cinta hanya kepada Allah SWT saja, sehingga bagi makhluk lain tidak ada ruang sedikitpun.
d. Hal .
1. (Keadaan Dekat) : Mahabbah : Cinta Ilahiyah “ Cinta yang bergelora kepada Allah SWT termasuk kepada segala makhluknya” juga Stasiun Cinta kepada Allah SWT. Hatinya kosong dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yaitu Allah SWT. Kesenangannya ialah berdzikir, memuja dan berdialog dengan Allah SWT. Cinta kepada Allah SWT begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada ruangan lagi untuk cinta kepada yang lain, bahkan untuk rasa benci kepada setanpun tidak ada tempatnya lagi.

2. (Keadaan Melihat) : Ma’rifat : Melihat Allah SWT dengan mata hati karena Allah SWT membukakan tabirnya. Ma’rifat diperolah dengan hati nurani dan untuk memperolehnya tergantung pada rahmat Allah SWT. Untuk memperoleh itu seorang Sufi harus dibuka Allah SWT dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dahulu. Dalam Al-Ma’rifah seorang sufi telah berhadap-hadapan dengan Allah SWT dengan kata lain seorang sufi melihat Allah SWT dengan mata hati.
e. Tokoh-Tokoh Sufi
Rabi’ah Al-Adawiyah, Abdullah Ibn Umar, Abu Al-Darda, Abu Zar Al-Ghiffari, Bahlul Ibn Zuaib, Kahmas Al-Hilali, Al-hasan Al-Basri (642 M-728 M), Ibrahim Ibn Adham, Sufyan Al-Sauri, dan Abu Nasr Bisyr Al-Hafi (767 M-841 M).

Maqomat/ Stasiun/ Tahapan-tahapan

1. Tobat : Tobat dari segala dosa, besar dan kecil. Dan selanjutnya menjauhi segala perbuatan yang kurang baik dan tidak sopan; dalam istilah sufi, tobat dari segala yang makruh dan syubhat, dan tobat itu harus merupakan tobat yang sebenar-benarnya, sehingga calon sufi itu benar-benar suci dari dosa dan perbuatan-perbuatan tidak baik dan tidak sopan.

2. Zuhud : Stasiun terpnting yang harus dicapai sebelum seorang meningkat menjadi sufi sebenarnya. Seseorang tidak dapat menjadi sufi sebelum ia menjadi zahid. Dengan kata lain tiap sufi adalah zahid, tetapi bukan tiap zahid merupakan sufi. Seorang zahid hidup sesederhana-sesederhananya. Ia berpakaian, makan, minum dan tidur hanya sekedar perlu untuk menjaga supaya badan tidak sakit. Kerjanya senantiasa berpuasa, shalat, berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Dengan kata lain ia berusaha memebuat dirinya labih suci lagi daripada semasa berada di stasiun sebelumnya dan dengan demikian makin dekat dengan tuhan.
3. Wara’ : meninggalkan yang syubhat sehingga tangan tak kuasa mengulurkannya untuk mengambil yang syubhat.

4. Farq : Cukup satu helai pakaian tak perlu minta, tak pernah menolak pemberian.


5. Shabar : Sabar dalam segala-galanya; sabar dalam menjalankan perintah Allah
SWT dan menjauhi segala larangan-larangannNya; sabar dalam menerima segala percobaan yang ditimpakan Tuhan atas dirinya; sabar menunggu pertolongan dari Tuhan; sabar dalam menderita kesabaran.

6. Tawakal : Selamanya berada dalam keadaan tentram , tidak memeikirkan hari esok, merasa cukup dengan apa yang diberikan Tuhan untuk ari ini. Kalau mendapat pemberian dari Allah SWT berterima kasih, dan kalau tidak mendapat pemberian tetap sabar dan mnyerajkan diri sebulat-bulatnya kepada Allah SWT, karena percaya pada janji-Nya. Dalam tawakal seorang sufi bersikap seolah-olah telah mati.

7. Ridha : Tidak marah dan tidak benci, tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang. Segala perasaan benci dikeluarkan dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat; bahkan dalam hati bergelora perasaan cinta di waktu turunnya malapetaka. Orang sufi tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka dan dimasukan kedalam surga.

8. Mahabah : Stasiun Cinta kepada Allah SWT. Hatinya kosong dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yaitu Allah SWT. Kesenangannya ialah berdzikir, memuja dan berdialog dengan Allah SWT. Cinta kepada Allah SWT begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada ruangan lagi untuk cinta kepada yang lain, bahkan untuk rasa benci kepada setanpun tidak ada tempatnya lagi.

9. Ma’rifah :,Ma’rifat diperolah dengan hati nurani dan untuk memperolehnya tergantung pada rahmat Allah SWT. Untuk memperoleh itu seorang Sufi harus dibuka Allah SWT dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dahulu. Dalam Al-Ma’rifah seorang sufi telah berhadap-hadapan dengan Allah SWT dengan kata lain seorang sufi melihat Allah SWT dengan mata hati.

No comments: