Wednesday 21 April 2010

SEJARAH HUKUM PIDANA

Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di Indonesia. Sejak dahulu maka hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Asas konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang belanda itu menguasai perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak permulaan, hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordasi dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda.
Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama-tama disini adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC. Hukum kapal terdiri atas dua bagian : Hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin. Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC itu terdiri dari : (E, Utrecht : 1965).
1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statutan van Batavia)
2. Hukum Belanda yang kuno
3. Asas-asas hukum Romawi
Sebagaimana diketahui VOC dibubarkan tahun 1978. Pemerintahan atas daerah bekas VOC dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische Bezittingen en establissementen, disingkat dengan Aziatiche Raad, yang mulai dengan pekerjaannya pada tanggal 1 Januari 1800.
Pada tanggal 27 September 1804 Pemerintah Bataafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de aziatische bezittingen van de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan dari charter ini adalah buah pikiran dari panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Di dalam panitia ini terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada “perubahan” dan aliran yang pada “perubahan”. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini ialah suatu kerukunan.
Perubahan penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan setelah Daendeles diangkat menjadi gubernur jenderal dan tiba di Indonesia pada tahun 1808 . daendeles dikirim ke Indonesia dengan tugas antara lain mengreorganisasi pemerintah dalam arti sempit, justisi, dan polisi
Pada tahun 1810 atas perintah Daendeles dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statute betawi baru, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jenderal berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana :
a. Hukuman dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan
b. Hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara
Menurut plakat tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman :
a. Dibakar hidup terikat pada suatu tiang
b. Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris
c. Dicap bakar
d. Dipukul
e. Dipukul dengan rantai
f. Ditahan ke dalam penjara
g. Bekerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum
Akhirnya hukum pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila hukum pidana adat dapat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik, sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman
2. Apabila hukuman yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan
3. Apabila alat-alat pembuktian menuntut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa.
Sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam politik hukum orang Belanda: apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi pun ditundukkan juga pada hukum Belanda.
Pada zaman pendudukan tentara Inggris, yang menjadi penguasa terpenting ialah Sir Thomas Stanford Raffles. Pentingnya orang ini, ialah minatnya juga terhadap adat istiadat dan bahasa rakyat Indonesia. Raffles berhasil menulis buku paling pertama yang bermutu tentang kebudayaan Indonesia, yaitu khusus kebudayaan Jawa. Pemerintahan Inggris mengadakan perubahan atas hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan pengadilan. Hukum materiel bagi orang Eropa tetap hukum statuta.
Berdasarkan konvensi London tertanggal 13 Agustus 1914, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda, kepada Komisaris jenderal diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815. Instruksi ini menjadi Undang-Undang Dasar pemerintah Kolonial pada waktu itu dan terkenal dengan nama : Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Tindakan pertama dari para komisaris jenderal, setibanya di Indonesia terhadap hukum di Indonesia, ialah mempertahankan untuk sementara waktu, semau peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris, hal ini untuk menghindarkan “Rechts Vactum”. Berdasarkan LNHB Tahun 1828 No. 16 diadakan suatu sistem kerja paksa sebagai sistem hukuman. Sistem kerja paksa dengan sendirinya hanya dilakukan bagi para terhukum bangsa pribumi yang terbagi dalam dua golongan :
1. Yang dihukum kerja rantai
2. Yang dihukum kerja paksa
Sejak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815, maka pada waktu itu tetap ada keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten Van Oud Haarlem dan Wichers. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. Untuk hukum pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Interimaire Strafbapalingen, LNBH 1848 No. 6. Sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mengenai hukum pidana tertulis berlaku :
Primer : Hukum yang terdapat dalam statute Betawi
Sekunder : Hukum Belanda kuno
Lebih sekunder : Asas-asas Hukum Romawi
Lebih sekunder lagi : Apa yang disebut oleh Kolonial Verslag tahun 1849
Idema dalam bukunya membagi zaman tahun 1848 sampai dengan tahun 1934 dalam :
1848 - 1873 Dari zaman tata hukum pidana yang sangat beraneka warna ke zaman tata hukum pidana yang dualistis
1873 - 1918 Dari zaman tata hukum pidana yang dualistis ke zaman tata hukum pidana yang terunifikasi
1918 - 1934 Ke arah manakah?
(Utrech : 1965)




Pengertian Hukum pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan sebagainya Dalam hukum pidana dikenal, 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.






ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
Berlakunya hukum pidana menurut waktu:
1) Asas Legalitas, terkandung dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
Hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang yang dimaksud sengan undang-undang,
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berisi dua hal :
a. suatu tindak pidana/delik harus dirumuskan didalam peraturan undang-undang;
hal ini berakibat bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat disebut sebagai delik dan tidak dapat dipidana; jadi sesuai asas tersebut, hukum yang tidak tertulis tidak dapat diterapkan; tetapi ada pengecualian untuk hukum pidana adat yang tidak tertulis, yang masih juga harus diperhatikan UU No. 1/Drt/1951. ada konsekuensi lain, yaitu ada pendapat bahwa dalam pidana terdapat larangan penggunaan analogi, yaitu membuat perbuatan yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang tetapi ada kemiripannya, dijadikan/dianggap sebagai tindak pidana/delik. Tentang analogi akan dibicarakan dibawah.
a. peraturan undang-undang itu harus ada sebelum tindak pidana/delik terjadi. Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat dijatuhi hukuman jika perbuatannya itu telah ada/telah disebut didalam KUHP. Jadi menurut pasal 1 ayat (1) Jika orang dituduh melakukan sesuatu kejahatan, akan tetapi kemudian terbukti, bahwa perbuatannya itu tidak terdapat dalam KUHP, maka si tersangka tadi dibebaskan dari tuduhannya tersebut, dan dia tidak dijatuhi hukuman.
Hal ini oleh anselm von feuerbach dirumuskan sbg berikut :
“Nulla poena sine lege
Nulla poena sine crimine
Nullum Crimen sine poena legali”
“Tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang,
Tidak ada hukuman, kalau tidak ada kejahatan,
Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan undang-undang.”
Dari pasal 1 ayat (1) ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. hukum pidana itu mencegah adanya penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang oleh pengadilan(hakim).
2. dapat dicapai kepastian hukum.
3. hukum pidana itu bersumber pada hukum tertulis.
2) Asas tidak berlaku Surut, ditentukan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP (pengecualian pasal 1 KUHP).
Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut (strafrecht heeftgeen terugwerkende kracht). Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Asa ini merupakan asas fundamental dalam negara hukum walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang dasar, sehingga pembentuk undang-undang tidak dengan gegabah menyimpang dari asa tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dikecualikan oleh pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Apabila ada perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai aturan yang ringan bagi tersangka.”
3) Asas larangan penggunaan analogi
Larangan penggunaan analogi, yaitu untuk membuat perbuatan yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang tetapi ada kemiripannya, dijadikan/dianggap sebagai tindak pidana/delik. Dapat pula analogi terjadi bilamana menganggap bahwa suatu peraturan hukum tertentu juga meliputi suatu hal yang nbanyak kemiripannya/kesamaannya yang telah diatur, padahal semula tidak demikian.
Analogi biasanya terjadi dalam hal-hal ada sesuatu yang pada saat pembuatan suatu peraturan hukum sesuatu yang baru itu tidak terpikirkan/tidak mungkin dikenal oleh pembuat undang-undang padsa zaman ini.contoh, pencurian aliran listrik. Aliran listrik dianalogikan sebagai barang. Analogi berkaitan erat dengan masalah penafsiran / interpelasi. Hal ini analogi berdasarkan kenyataan bahwa suatu undang-undang tertulis dan bersifat statis masih perlu ditafsirkan dalam pemberlakuannya, terutama oleh hakim pada waktu menerapkannya. Tujuan menafsirkan adlah untuk mencari arti yang sebenarnya dari putusan kehendak para pembentuk undang-undang yang menuangkan kedalam rumusan-rumusan yang tertulis dalam undang-undang.
Berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang
1) Asas Teritorialitas (pasal 2 KUHP)
Yang paling pokok dalam asas ini dalam hubungannya dg berlakunya undang-undang hukum pidana dapat pula yang diutamakan ialah batas-batas teritorial dimana undang-undang hukum pidana tersebut berlaku.tolak pangkal dari pemikiran untuk penerapan asas teritorial ialah bahwa diwilayah indonesia, hukum pidana indonesia mengikat bagi siapa saja(penduduk/bukan penduduk) . dasarnya ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam wilayahnya.
2) asas personalitas (Nasional aktif)
Dasar dari asas ini ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib sejauh mungkin mengatur sendiri warganya.
3) Asas perlindungan (Nasional Pasif)
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya / kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;
Dst….(psl 4 KUHP)
4) Asas Universalitas
Dalam hukum internasional diakui kesamaan hak dari setiap negara yang berdaulat dan seakan-akan adanya “satu negara dunia”. Selanjutnya dalam hukum internasional diakui pula suatu asas bahwa terhadap mereka yang melakukan tugas perwakilan kenegaraan diluar negrinya, kebal terhadap hukum dimana ia bertugas.
Istilah untuk pengecualian ini disebut hak eksteritorialitas, berasal dari suatu fiksi seakan-akan dimanapun mereka bertugas selalu dianggap berada dinegara sendiri. Penyelesaian pelaku di persona non gratakan, melalui saluran diplomatik ditaruh ke negara asal.
5) Perjanjian penyerahan (extraditie)
Pada pasal 5 ayat 2 KUHP menyebutkan bahwa “penuntutan perkara (mengenai suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negara tempat perbuatan itu dilakukan) boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi WNI setelah melakukan perbuatan itu.


sumber :
http://toya2007.wordpress.com/2008/08/05/seo-sejarah-hukum-pidana/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum#Hukum_pidana

1 comment:

Unknown said...

a good article.