Saturday 24 April 2010

Wewenang

WEWENANG
II.1. Pengertian Wewenang
Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Dengan wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan ( Soerjono Soekanto, 1970 : 156 ). Dengan perkataan lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak.2 Apabila orang membicarakan tentang wewenang, maka yang di maksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekananya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan.
Dipandang dari sudut masyarakat, maka kekuasaan tanpa wewenang, merupakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat.
Di muka, Selo Sumarjan mengatakan salah satu beda antara wewenang dan kekuasaan ialah, wewenang sifatnya resmi sedangkan kekuasaan tak resmi. Wewenang terdapat dimana-mana, hanya mengalami perubahan dalam bentuk. Menurut kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan oleh masyarakat.


2Ibid., halaman 83 dan seterusnya
Manulang, 1988, Wewenang berarti : Hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsinya.
Mac iver menjelaskan wewenang sebagai suatu hak yang didasarkan pada suatu pengaturan sosial yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dalam menyelesaikan pertentangan-pertentangan dan masalah-masalah penting lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu orang yang berwenang mempunyai hak untuk meminta ketaatan dari orang-orang yang berada di bawah wewenangnya dan sebaliknya orang-orang ini mempunyai kewajiban untuk taat kepada orang-orang yang berwenang tersebut.
Pengertian wewenang timbul pada waktu masyarakat mulai mengatur pembagian dan menetukan penggunaannya, akan tetapi tak pernah ada suatu masyarakat pun di dalam sejarah manusia yang berhasil dengan sadar mengatur setiap macam kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi wewenang. Kecuali tidak mungkin setiap macam kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi wewenang. Sebab tidak mungkin setiap macam kekuasaan itu dituangkan dalam peraturan, sebenarnya juga tidak menguntungkan bagi masyarakat andaikata hal itu terjadi.
Apabila setiap kekuasaan menjelma menjadi wewenang, maka susunan kekuatan masyarakat akan menjadi kaku sehingga tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi di dalam masyarakat.
Wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali terjadi letaknya wewenang yang diakui oleh masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata tidak di satu tempat atau tidak ada dalam satu tangan. Dalam keadaan yang demikian maka mungkin terjadi kesimpang-siuran dalam penggunan kekuasaan dan wewenang atau mungkin yang ada pada seseorang dipengaruhi oleh kekuasaan yang ada di pihak lain untuk keperluan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.


II.2. Bentuk-bentuk Wewenang
II.2.a. Wewenang Kharismatis, Tradisional dan Rasional (Legal)
Perbedaan antara wewenang Kharismatik, Tradisional dan rasional (legal) dikemukakan oleh Max Weber. Perbedaan tersebut didasarkan pada hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku.3 Di dalam membicarakan ketiga bentuk wewenang tadi Max Weber memperhatikan sifat dasar wewenang tersebut, karena itulah yang menentukan kedudukan penguasa yang mempunyai wewenang tersebut.4
Wewenang Kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada Kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseoramg. Kemampuan khusus tadi melekat pada orang tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan, karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia umumnya. Sumber kepercayaan dan pemujaan karena kemampuan khusus tadi pernah terbukti manfaat serta kegunaannya bagi masyarakat. Wewenang kharismatis tersebut akan dapat tetap bartahan selama dapat dibuktikan keampuhan atau kebenarannya bagi seluruh masyarakat. Contohnya, Nabi, Rosul, Penguasa-penguasa terkemuka dalam sejarah, dan seterusnya. Wewenang kharisma berwujud suatu wewenang untuk diri orang itu sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian besar masyarakat. Jadi dasar wewenang kharisma bukanlah terletak pada suatu aturan (Hukum), akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu bersangkutan. Kharisma semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikut-pengikutnya.5

3Max Weber, The Theory of Social and Economic Organizations, diterjemahkan oleh A.M. Henderson dan Talcott Parsons, disuting dan diberi pendahuluan oleh Talcott Parsons, The Free of Glencoe, halaman 57.
4Max Weber, Types of Authority, dalam Sociologisal Theory, diedit oleh Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg, edisi ke-2 The Macmillan Company, New York, 1964, halaman 129-134,
5Max Weber, op. cit., halaman 244.
Wewenang kharisma dapat berkurang, bila ternyata individu yang memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi kurang.Wewenang kharismatis tidak di atur oleh kaidah-kaidah, baik yang tradisional maupun rasional. Sifatnya cenderung irsional. Adakalanya kharisma dapat hilang, karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai faham yang berbeda. Perubahan-perubahan mana seringkali tak dapat diikuti oleh orang yang mempunyai wewenangkharismatis tadi, sehingga dia tertinggal oleh kemajua dan perkembangan masyarakat.
Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok, yang mana kelompok tersebut sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalm suatu masyarakat. Wewenang tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang kharismatis. Akan tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaaan, masyarakat percaya dan mengakui kekuasaannya.
Ciri-ciri utama wewenang tradisional adalah :6
- Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai wewenang, serta orang-orang lainnya dalam masyarakat.
- Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi.
- Selama tak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang dapat bertindak secara bebas.







6 Max Weber, op. cit., halaman 61
Pada masyarakat di mana penguasa mempunyai wewenang tradisional, tidak ada perbatasan yang tegas antara wewenang dengan kemampuan-kemampuan pribadi seseorang. Dalam hal ini seringkali hubungan kekeluargaan memegang peranan penting di dalam pelaksanaan wewenang. Kepercayaan serta kehormatan yang diberikan kepada mereka yang mempunyai wewenang tradisional biasanya mempunyai fungsi memberikan ketenangan pada masyarakat. Karenanya mesyarakat selalu mengikatkan diri pada tradisi. Wewenang tradisional dapat juga berkurang dan bahkan hilang, antara lain kerena pemegang wewenang tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Memang, masyarakat yang menyadarkan diri pada tradisi biasanya lambat sekali berkembang, walau begitu ia tetap mengalami perubahan. Dengan demikian wewengan yang menyandarkan diri pada tradisi, harus juga menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kemasyarakatan.
Wewenang rasional, atau legal adalah wewenagn yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hokum di sini difahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, bahkan yang telah diperkuat oleh Negara.
Pada wewenang yang didasarkan pada hokum harus dilihat juga apakah sistem hukumnya bersandar pada tradisi, agama, atau faktor-faktor lainnya. Kemudian harus ditelaah pula hubungannya dengan sistem kekuasaan serta diuji pula apakah sistem hokum tadi cocok atau tidak dengan sistem dengan sistem kebudayaan masyarakat, supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan tentram.
Di dalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan sistem hukumnya, maka oranag yang memegang kakuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu tertentu dan terbatas. Gunanya adalah supaya orang-orang yang memegang kakuasaan tadi akan dapat menyelenggarakannya sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kemungkinan orang-orang tententu secaraterus-menerus memegang kekuasaan dalam jangka waktu lama seperti halnya pada masyarakat tradisional adalah kecil sekali. Karena kemungkinan semacam itu akan manghambat keinginan dan pemenuhan keluhan-keluhan masyarakat.
Dari ketiga wewenang tersebut bila di telaah, maka akan terlihat bawa ketiganya dapat dijumpai dalam masyarakat walau mungkin hanya salah satu bentuk saja yang menonjol. Di dalam suatu masyarakat yang hidup tenang dan stabil, umumnya wewenang tradisional yang legal amat mengedepan. Dengan meluasnya sistem demokrasi, maka wewenang tradisional yang legal amat mengedepan. Dengan meluasnya sIstem demokrasi, maka wewenang tradisional yang diwujudkan dengan kekuasaan turun-temurun, kelihatannya semakin berkurang. Di masyarakat yang mengalami perubahan cepat, mendalam dan meluas, wewenang kharisma mendapat kesempatan untuk tampil di muka. Dalam keadaan demikian tidak mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Lagi pula, kaidah dan nilai sosial tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman tegas bagi para warga. Karena itu golongan masyarakat yang biasa dipimpin, dengan rela hati mengikut orang yang cakap. Barangsiapa pernah mengalami revolusi fisik Indonesia pada 1945, akan mengetahui betapa besar daya tarik para pemimpin masyarakat yang memiliki kharisma di dalam mengarahkan masyarakat pada waktu itu.7
Max Weber mengemukakan pendapat bahwa ada kecenderungan dari wewenang kharismatis (yang berkurang bila keadaan masyarakat berubah) untuk dijadikan kekuasaan tetap dengan mengabadikan kepentingan serta cita-cita para pengikut pemimpin kharismatis tadi ke dalam kehidupan bersama kelompok, dan kepentingan untuk mempererat hubungan satu dengan yang lainnya.8









7Selo Sumarjan dan Soelaeman Soemardi, op. cit., halaman 304-341
8Max Weber, The Routinization of Charisma, dalam Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi,op,cit., halaman 387-397
Masalah akan timbul bila yang memiliki kharisma sudah tak ada lagi. Damam hal ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu antara lain :
a. Mencari seseorang yang mampu untuk memenuhi ukuran atau criteria wewenang kharismatis sebagaimana ditentukan masyarakat.
b. Dengan mengadakan penyaringan atau seleksi.
c. Seseorang yang mempunyai wewenang khatismatis, menunjuk penggantian serta mengakui kakuasaan, di mana masyarakat luas juga mengakui.
d. Penunjukan oleh pembantu-pembantu penguasa terdahulu yang dipercayai oleh masyarakat.
e. Menciptakan suatu sistem kepercayaan, bahwa kharisma dapat diwariskan kepada keturunan seseorang yang masih ada hubungan keluarga dengan orang yang mempunyai kharisma tersebut.
f. Menciptakan sistem kepercayaan, bahwa dengan upacara-upacara tradisional tertentu, kharisma dapat dialihkan kepada orang lain.
Proses perubahan wewenang khrismatis menjadi kekuasaan dan wewenang yang tetap, tidak mustahil menimbulkan pertikaian. Bagi penganut wewenang kharismatis, kadang-kadang tidaklah mudah untuk melupakan kenyataan bahwa wewenang tersebut pernah melekat pada diri dan pribadinya. Akan tetapi hal ini bukanlah merupakan pernghalang besar terutama pada masyarakat modern, karena warga masyarakat umumnya rasional dan menghendaki suatu landasan hukum yang kuat pada wewnang yang berlaku di dalam masyarakat. Kesulitan-kesulitan mungkin akan dijumpai pada masyarakat-masyarakat bersahaja yang masih memelihara sistem kepercayaan.




II.2.b. Wewenang Resmi dan Tidak Resmi,9
Di dalam setiap masyarakat akan dapat dijumpai aneka macam bentuk kelompok. Dalam kehidupan kelompok-kelompok tadi seringkali timbul masalah tentang derajat resmi suatu wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil disebut sebagai wewenang tidak resmi karena bersifat spontan, situasional dan didasarkan pada faktor saling mengenal. Wewenang demikian tidak diterapkan secara sistematis. Keadaan semacam ini dapat dijumpai, misalnya, pada cirri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga atau pada diri seorang guru yang sedang mengajar di muka kelas. Wewenang tidak resmi biasanya timbul dalam hubungan-hubungan antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sangat ditentuakn oleh kepribadian para fihak.
Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional. Biasanya wewenang tersebut dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan-aturan taat tertib yang tegas dan bersifat tetap.
Di dalam kelompok tadi, karena benyaknya anggota, biasanya hak dan kewajiban para anggotanya, kedudukan serta peranan, siapa-siapa yang menerapkan kebijaksanaan dan siapa pelaksananya, seterusnya ditentukan dengan tegas. Walau demikian, dalam kelompok-kelompok besar dengan wewenang resmi tersebut, mungkin saja ada wewenang yang tidak resmi. Tidak semua dijalankan atas dasar peraturan-peraturan resmi yang segala bentuk. Bahkan demi kancarnya suatu perusahaan besar, misalnya, kadangkala prosesnya didasarkan pada kebiasaan atau aturan yang tidak resmi. Contohnya dapat dilihat pada seorang sekretaris direktur. Ia punya wewenang tidak resmi yang besar.
Demikian pula dapat di dalam suatu lembaga pemasyarakatan, seorang narapidana tertentu lebih ditakuti oleh rekan-rekannya dari pada pegawai lembaga pemasyarakatan yang mempunyai wewenang resmi.


9Robert a. Nisbet, The Social Bond, An Introduction to the Study of Society. Alfred A. Knopf, New York, 1970, halaman 119 dan seterusnya
Sebaliknya di dalam selompok-kelompok kecil mungkin saja ada usaha-usaha untuk menjadikan wewenang tidak resmi, karena terlalu seringnya pertikaian antar anggota.
II.2.c. Wewenang Pribadi dan Teritorial
Pembedaan antara wewenang pribadi dengan teritorial sebenarnya timbuldari sifat dan dasar kelompok-kelompok social tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mungkin timbul karena faktor ikatan darah, atau mungkin faktor ikatan tempat-tinggal, atau karena gabungan ke dua faktor tersebut. Di Indonesia dikenal kelompok-kelompok atas dasar ikatan darah, misalnya marga, belah dan seterusnya. Sebaliknya dikenal pula nama desa, yang lebih didasarkan pada faktor teritorial.10
Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota kelompok, dan di sini unsur kebersamaan sangat memegang peranan. Para individu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktu wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titiklalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang tertentu. Setiap lingkaran wewenang diangggap mempunyai kakuasaan penuh di wilayahnya masing-masing. Apabila bentuk wewenang ini dihubungkan dengan ajaran Karl Weber, maka wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi daripada peraturan-peraturan. Juga didaraskan pada kharisma seseorang.
Wewenang teritorial, wilayah tempat tinggal memegang peranan yang sangat penting. Pada kelompok-kelompok territorial unsur kebersamaan cenderung berkurang, karena desakan faktor-faktor individualisme. Hal ini tidaklah berarti bahwa kepentingan perorangan diakui dalam kerangka kepentinagn bersama. Pada wewenang territorial ada kecenderungan untuk mengadakan sentralisasi wewenang yang memungkinkan hubungan langsung dengan warga kelompok. Walaupun di sini dikemukakan perbedaan antara wewenang pribadi dengan territorial, namun didalam kenyataannya kedua bentuk wewenang tadi dapat saja hidup berdampingan.

10Soemarjan Soekanto, “Inheritance Adat Law in Indonesia Peasant Society, 14 malaya law review 2,1972, halaman 244- 258
Pada desa-desa di jawa, misalnya, wewenang teritorial lebih berperan, di samping ada kecenderungan-kecenderungan untuk mengakui wewenang dari pemilik tanah (Kuli Kencleng) dan sifatnya turun-temurun dan didasarkan pada ikatan atau hubungan darah.
Akan tetapi sebaliknya ada pula kenyataan-kenyataan yang membuktikan bahwa terdapat wewenang-wewenang pribadi dan territorial yang murni sifatnya.
II.2.d. Wewenang Terbatas dan Menyeluruh
Suatu dimensi lain dari wewenang adalah pembedaan antara wewenang terbatas dan wewenang menyeluruh. Apabila membicarakan tentang wewenang terbatas, maka maksudnya adalah wewenang tidak mencakup semua sektor atau bidang kehidupan. Akan tetapi hanya terbatas pada salah satu sector atau bidang saja. Misalnya, seorang jaksa di Indonesia, mempunyai wewenang untuk atas nama Negara dan mewakili masyarakat menuntut seorang warga masyarakat yang melakukan tindak pidana. Namun jaksa tidak berwenang mengadilinya. Contoh lain adalah seorang menteri Dalam Negeri, tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan-urusan yang menjadi wewenang menteri Luar Negeri. Wewenang semacam ini sebenarnya lazim, terutama dalam masyarakat yang sudah rumit sesenan dan organisasinya. Namun demikian, wewenang yang menyeluruh juga suatu cirri dari suatu Negara.
Suatu wewenang menyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Contohnya adalah, misalnya, bahwa setiap Negara mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Jadi, apakah suatu wewenang bersifat terbatas atau menyeluruh, tergantung dari sudut penglihatan fihak-fihak yang ingin menyorotinya. Adalah suatu kenyataan pula bahwa kedua bentuk wewenang tadi dapat berproses secara berdampingan, dimana pada situasi-situasi tertentu salah satu bentuk lebih berperan dari pada bentuk lainya.


II.3. Prinsip Wewenang dan Tanggung Jawab
Setiap orang yang telah diserahi tugas dalam sesuatu bidang pekerjaan tertentu dengan sendirinya memiliki wewenang untuk membantu memperlancar tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Akan tetapi sebaliknya, semua wewenang tentu harus disertai tanggung jawab terhadap atasan atau terhadap tujuan yang hendak dicapai. Antara wewenang dan tanggung jawab harus seimbang, sehingga setiap orang dapat memberikan tanggung jawab sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.
Wewenang adalah hak memberikan perintah-perintah dan kekuasaan meminta kepatuhan dari yang diperintah. Ada dua jenis wewenang, pertama wewenang atau kekuasaan pribadi yang bersumber kepada kepandaian, pengalaman, nilai moral, kesanggupan memimpin dan lain sebagainya, kedua wewenang resmi yang diterima dari instansi yang lebih tinggi. Wewenang resmi yang diperoleh dari atasan tidak akan mendukung tugas-tugas seseorang, jika tidak diimbangi dengan wewenang pribadi.
Tanggung jawab adalah tugas dan fungsi-fungsi atau kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang petugas. Untuk melaksanakan tugas atau tanggung jawab ini kepadanya harus diberikan wewenang, agar kepatuhan dapat diberikan oleh bawahan dan sangsi dapat diberikan kepada bawahan yang tidak memberikan kepatuhan.

No comments: